Pendidikan dan Wajah “Buruk” Indonesia
Pendidikan?
Bukan saatnya lagi untuk terus diperdebatkan sebenarnya. Namun alangkah
malangnya negeri ini, sampai detik ini masih saja ribut bercakap soal
pendidikan, baik di tatanan kurikulum, guru yang dualisme kegiatan, gaji
sedikit, dan tetek bengik lainnya. Sudah bukan masanya lagi persoalan sepele
ini menghambat kreatifitas anak didik itu sendiri.
Belum
selesai berbincang rapat tetang pendidikan bakal diarahkan ke-Amerika atau
ke-Papua, negeri ini sudah digoncangkan dengan kebijakan pemerintah dengan
memberi kemewahan pada para PNS (pegawai negeri sipil). Sedang diberbagai
podium persidangan yang disiarkan langsung di TV dan lainnya, seringkali
penulis temukan bagaimana pendidikan berdiri dibagian depan merubah keadaan sosial suatu bangsa.
Ironisnya, sampai hari ini pengolahan pendidikan selalu berada digaris
belakang, sehabis kepentingan mengisi perut dan berangkas.
Penulis
termasuk orang bodoh, sebab hari ini masih mengenyam Pendidikan Strata Satu (S1) itu pun baru menginjak lapangan ke-6.
Jadi secara akademis, penulis baru tahap merangkak. Akan tetapi, saya dengan
lentang berani berujar bahwa arah pendidikan saat ini tidak memiliki tujuan
yang jelas.
Kenapa
demikian? Hari ini, tidak hanya di lemabga yang saya tempati lahirnya degradasi
keilmuan anak didiknya, termasuk di berberapa universitas ternama masih belum
jelas pula kecendrungannya (tidak perlu saya sebutkan namanya, sebab negara
kita masih marak sentimen yang berimbas fatal/mengancam keselamatan jiwa).
Kejadian
sedemikian rupa bukan karena anak didik tidak mau belajar, akan tetapi proses
belajar-mengajar yang kurang efektif menjadikan anak didik absen keilmuan. Ditambah lagi dengan pembentukan
bahan ajar yang hanya bersandar pada kebijakan pemerintah, yang dalam
penentuannya tidak detail melihat lingkungan sosial. Namun penulis tidaklah
pesimis suatu saat arah pendidikan negeri ini mengalami perubahan. Entah
semakin baik atau malah semakin buruk saja.
Ada
beberapa hal yang bagi penulis penting untuk dijadikan catatan bersama mengenai
pendidikan negeri kita hari ini. Pertama,
hidarkan lembaga pendidikan dari pengaruh globalisasi. Sebagian orang
beranggapan bahwa semakin kita up date
terhadap perubahan zaman yang melahirkan teknologi serba instan, kehidupan akan
semakin mudah dijalani.
Sebab
hal sedemikian mampu menyelamatkan kebutuhan dari ancaman kesibukan aktifitas.
Itu bagi sebagian orang. Pada bagian yang lain, perubahan zaman malah bermakna
sebalinya. Kehidupan yang serba mudah hanya akan melahirkan manusia bermental
kerdil, juga picik. Hari ini hal semacam itu terbukti dilingkungan pendidikan
kita, entah itu tingkat sekolah atau Universitas sekalipun. Banyak hari ini
pelajar atau mahasiswa memasrahkan jawaban dari pertanyaan dosen pada MR.
Google. Ditangannya, segala urusan keilmuan menjadi mudah terselesaikan.
Padahal hal semacam itu hanya akan melemahkan daya baca anak didik. Buku-buku
menjadi barang asing untuk ditelaah lebih dalam.
Anehnya
lagi, lembaga pendidikan dewasa ini pada gencar mencari peluang bagaimana
lingkungan pendidikannya mendapatkan subsidi alat-alat cangggih. Dengan alasan
mempermudah segala urusan serta tidak kalah dengan lembaga pendidikan lainnya.
Bila hal semacam itu masih dibiarkan berlarut dan terus menggerogoti kehidupan
dunia pendidikan, jangan sekali bermimpi untuk merubah arah pendidikan yang
baik dan progresif. Sebab hanya akan menjadi igauan panjang tanpa jawaban sama
sekali.
Kedua,
penanaman kesadaran diri. Mungkin sudah banyak yang menuliskan hal semacam ini
sebagai solusi dari berbagai persoalan Namun penulis berasumsi ada pentingnnya
juga menerapkan kembali bentuk kesadaran diri yang nantinya diharapkan berimbas
pada kesadaran berpendidikan yang baik dan benar. Bentuk kesadaran itu
sejatinya lebih mudah dipahami dan dijalankan.
Sebab
kesadaran itu berawal dari kesadaran peribadi. Hari ini, banyak terjadi
pergeseran makna mengenai kesadaran itu sendiri. Kesadaran itu banyak
dilencengkan bagaimana kemudian memahami budaya luar yang kemudian di klaim
sebagai bentuk perubahan kebudayaan (baca:
pendidikan).
Naas
sekali bangsa ini, hampir di semua lini kehidupan sangat jarang ditemukan
kekayaan budaya peninggalan nenek moyang di apresiasi dengan baik (semisal:
budaya memahami ilmu perbintangan, arah mata angin, pergantian musim dan lan
sebagainya). Dulu nenek moyang kita tidak perlu belajar keluar negeri hanya
untuk sekedar memahami beberapa contoh keilmuan tadi.
Namun
mereka cukup belajar pada orang-orang sebelumnya terkait itu. Tetapi saat ini
hal itu cenderung ditinggalkan atu bahkan sampai pada tatanan dihilangkan. Anak
didik lebih diarahkan bagaiman memahami teori
pasar, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Semua itu mengambil pemahaman
orang-orang barat yang tidak sama sekali bersentuhan dengan kehidupan bangsa
kita yang majmuk akan kebudayaan. Bukankah menyadari kekayaan diri sedemikian
merupakan kesadaran diri untuk terus dipertahankan sebagai identitas bangsa?
Cuma
hari ini lagi-lagi saya cacatkan bahwa bangsa kita telah kehilangan dirinya
sendiri. Dirinya di jual pada produk asing yang bila dibuat sendiri sebenarnya
bisa. Akan tetapi, budaya konsumtif telah mengakar kuat dijantung anak bangsa
kita. Mengenaskan sekali bukan kehidupan bangsa kita hari ini. bulam lagi
ditambah dengan segudang persoalan korupsi, penipuan, suap-menyuap dan banyak
kejadian teragis menimpa kehidupan bangsa yang katanya memiliki dasar lima
panca yang amat dikultuskan, juga lagu kebangsaan yang ternyata amat sulit
dihafalkan.
Alangkah
lucunya negeri ini, dengan sugudang persoalan menjadi tayangan menarik layar TV
dan siaran paling update di radio,
dan selalu menjadi rubrik utama media massa. Lebih parah lagi, ternyata pihak
terkait malah enak-enakan bersumpah atas nama kebenaran dan juga keadilan.
Membincang
masalah bangsa ini seolah tiada habis-habisnya. Sehingga saya kira tugas dan
kewajiban bersama untuk menemukan ragam masalah itu, lalu mencarikan solusi
tepat menyelesaikannya. Akan tetapi, hal ini pun semestinya menjadi catatan
bagi para penegak hukum agar berupaya semaksimal mungkin menjalankan tugas dan
fungsinya.
Dua
hal yang saya sebutkan diatas diharapkan mampu memberikan sumbangsih perbaikan
arah kehidupan bangsa yang kurang jelas arahnya kemana, terutama dibidang
pendidikan. Sebab apabila perubahan zaman dengan globalisasinya hanya
melahirkan kebiasaan instan akan merusak peradaban yang telah lama dibangun.
Sama halnya dengan kesadaran diri akan bangsa pun akan melahirkan kekejaman
antar sesama warga negara indonesia yang konon pernah melakukan gerakan
pemersatu.
Membaca Sejarah
Alkisah,
dulu peranah hidup satu tokoh penggerak pendidikan di indonesia, baliau bernama
K Hajar Dewantara yang dengan sangat
tekun melatih anak didikanya bercengkrama dengan kehidupan bangsa ini. Dalam
artian, pengenalan terhadap hal-hal yang bersifat lingkungan sosial amat dalam
dipelajari, bukan malah sebaliknya. Anak didik secara sadar atau tidak saat ini
semakin dijauhkan dari kesadaran nasionalisme, yang dulu mengawali gerakan
kemerdekaan bangsa dari tangan panjajah.
Hari
ini, coba buktikan saja, cara untuk membuktikan bagaimana pelembagaan
pendidikan hanya berimbas pada penjauhan anak didiknya dari lingkungan hidup,
ialah dengan menanyakan kebudayaan yang ada di daerah tempat anak didik itu
lahir, atau bisa dengan mempertanyakan motologis yang masih mengakar di
masyarakat tempat tinggalnya.
Karena
bagaimana pun, bangsa kita dulunya di bangun atas kepercayaan pada animisme,
dinamisme dan kepercayaan lain yang sifatnya absurd. Tetapi, kepercayaan semacam itu dahulu mampu menanamkan
kerukunan antar sesama, dan hal semacam itu seringkali kita sebut gotong royong
dan lain sejenisnya.
Nyatanya,
hari ini kehidupan yang sedemikian rupa amat jarang ditemukan. Kehidupan
individualisme serta kebiasaan instan telah merubah pola pikir masyarakat.
Sedang yang membuat semakin miris adalah: anak-anak bangsa jebolan perguruan
tinggi pun, yang konon berwawasan lebih ketimbang masyarakat malah ikut
menyemarakkan kehidupan instan itu sendiri.
Bukan
kesadaran kebersamaan yang kemudian mampu dilahirkan oleh lemabaga pendidikan
kita yang terhormat. Untung saja masyarakat kita masih dominan yang miskin,
sehingga budaya gotong royong masih mampu dijaga. Andai saja masyarakat kita
kebanyakan menengah keatas, siapa yang bakal mempertahankan kebudayaan lokal
semacam itu. Itu pun saya kira karena terpaksa menjalaninya.
Secara
pribadi, penulis merindukan dunia pendidikan layaknya terapan K. Dewantara
meski mengenalinya pun berdasar cerita dari mulut kemulut, atau dari leteratur
yang sempit bahasannya atau wawasan saya yag sebaliknya. Namun yang pasti
kearifan semacam itu sangat sulit ditemukan. Semisal di jawa tepatnya di Sala
Tiga ada pendidikan yang berbasis desa yang sampai detik ini mampu berdiri
dengan kreatifitasnya yang memukau, walau tanpa kaitan dengan kurikulum
pendidikan yang hampir tiap detik berubah-ubah.
Sekilas
membaca sejarah masa lalu membikin ngeri perjalanan pendidikan bangsa ini
selanjutnya, latar belakag dan prospek masa depan yang berganti kecenderungan
menjadikan pendidikan hari ini nampak lemah dan tak berdaya menghadapi realitas
sosial yang semakin komplek.
Pengaruh Negara
Berbagai kejadian terjadi di negara
ini yang secara otoamtis berengaruh besar terhadap dunia pendidikan. Kenapa
demikian, karena pelembagaan pendidikan dihasilkan deri hasil persetujuan para
petinggi negara. Hari ini, negera kita seringkali disibukkan dengan urusan yang
“katanya” penting, tak jarang bikin sinting. Birokrasi negara kita terlalu
sibuk mengurusi kasus pelecehan hak asasi manusia sehingga berpikir bagaimana
menbangun pendidikan yang baik dan benar saya kira terlalu memberatkan.
Coba kita renungkan, betapa berat
dan marak pengaruh negara terhadap keberlangsungan pendidikan bangsa ini.
Negara memiliki makna: pertama¸
wilayah. Negara kita, saya kira memiliki banyak wilayah, entah itu kepulauan
atau daratan. Hal semacam itu sangat mendukung menjadi lahan pembelajaran yang
efektif bagi anak didik tetang daerahnya masing-masing.
Sehingga
kemudian dari berbagai pengetahuan itu dapat membantu kesadaran bernegara yang
baik berasas kesatuan republik indonesia. Di sisi lain, pengetahuan itu akan
meningkatkan kesadaran terhadap pentingnya mendalami keragaman budaya setempat.
Kedua, rakyat.
Semua orang, suku, dan bangsa yang mendiami satu wilayah (baca: indonesia).
Dari sini bisa kita tarik kesimpulan bahwa seluruh elemen masyarakat yang
mendiami satu wliyah berkewajiban untuk meningkatkan kualitas pendidikan,
bagaimana pun langkah adan caranya.
Ketiga, berdaulat.
Nah di sini kita memiliki peminpin
atau pemerintah. Pengaruh pemerintah terhadap dunia pendidikan kita sangatlah
besar. Hal itu dapat kita lihat dari berbagai peraturan pendidikan yang telah
ditetapkan. Semisal, kewajiban berpendidikan 9 tahun. Kebijakan semacam ini
sangatlah membantu pengurangan masyayrakat buta huruf. Namun ada banyak
kebijakan pemerintah yang sampai saat ini perlu dipertanyakan, contoh,
pembentukan kurukilum yang saya kira dilakuakn sambil lalu. Tidak adanya
keseriusan dari pihak birokrasi itu sendiri.
Maka dari itu, kita sebagai orang yang
berpikir bisa mengubah arah pendidikan, sudah sepantasnya melakukan gerakan
baru memperbaharuinya. Sebab apabila teori ketergantungan yang diciptkan
Soeharto masih kita nikmati, jangan berharap arah pendidikan kemabali
keasalnya. Hanya pembangunan yang tak selesai-selesai terus saja digalakkan.
Entah pembangunan apa itu namanya.
Salam galau (Alfiya Alfan Korp Ampera 2012)
0 Response to "Pendidikan dan Wajah “Buruk” Indonesia"
Post a Comment
Terima kasih telah mengunjugi blog saya, silakan tinggalkan komentar.