Cerpen: “Perempuan itu adalah Garis Sepi”

Kala matahari sepenggala hendak tenggelam di balik bukit, Perempuan cantik itu selalu setia menunggu bus menghampirinya. Ia tak pernah berkenan marah, meski berkali-kali bus itu memangkas waktu santainya sehabis kuliah dengan tugas yang bikin dirinya terengah-engah menjalaninya. Barang sekali dua kali ia pernah bercakap tentang kepentingan yang terbengkalai terkendala bus yang sering terlambat datang. Kira-kira bahasanya begini:
 
"Pak, kenapa setiap sore kedatangan bus ini selalu lebih lambat dari biasanya. Padahal jalanan tak nampak macet dan saya kira tidak berubah arah, kucuali lubang-lubang yang kian menganga?" Ungkapan sederhana, dengan mimic muka penuh tanda Tanya. Hingga sopir bus itu tak merasa di introgasi.
 
"Iya deg, ada banyak hal yang tidak kita tau dalam hidup ini. Niatan untuk sampai dalam detik yang telah dinantikan. Tak jarang berlalu dalam hitungan detak jantung. Itulah yang terjadi pada hidup saya. Benar kiranya apa yang saya utarakan bukan?" Bersanding muka selidik orang tau itu yang seolah sudah meninggalkan tanda puas di wajah si-penanya.
 
"Oh, mungkin saja begitu pak! Aku kagum pada uangkapan sampean, teramat dalam bapak mengartikan hidup ini. Satu pelajaran yang amat jarang terurai di rimbun dunia kampus yang selama ini saya jalani" ungkapnya dengan nada polos seolah tanpa salah.
***
Selepas percakapan sederhana itu, bus melaju seperti hari kemarin. Mesinnya yang sudah tua sedikit menimbulkan suara krakk ketika polisi tidur mendahului kedatangannya. Belum lagi urusan mesin yang mulai tak bersahabat itu, tempat penumpang duduk rebahkan sedikit lelah mulai meniru batu, kerasnya. Namun keganjilan akibat putaran waktu tak membuatnya sepi dari penumpang yang menunggu dan setia diantar pulang. Apakah karena di kota itu hanya ada satu bus dengan segudang kesabaran pengemudinya menghadapi badai kehidupan. Kehidupan yang tak jarang membikin bingung untuk terus dijalankan.
 
Bus terus melaju, meliuk diantara kendaraan lain berharap cepat sampai ketempat tujuan. Meski pada akhirnya waktu tak pernah peduli pada siapa pun yang menapakinya. Waktu akan terus berlalu dengan kecepatan yang sama, serta tak pernah peduli pada siapa pun yang tertinggal. Maka dari itu, keseimbangan tenaga waktu meminta pengukuran yang teliti agar kabar jalan semakin terasa kepergiannya. Karena waktu tak pernah bisa kembali pada muasalnya.
 
Bus tiba-tiba berhenti. Perempuan cantik dengan kulit langsat itu turun agak tergesa-gesa. Selepas itu, seperti gaya anak zaman sekarang, perpisahan selalu ditandai lewat gelengan tangan kepada pak tua yang berapa menit lalu menunjuk arah baru hidupnya. Lalu pelan dan pasti, bus tua yang sudah lecet sekujur badan bergerak lunglai meninggalkan kenangan baru bagi hati keperempuanannya. Entah dari mana, ada sebuah suara yang terdengar nyaring tanpa pengeras suara bertutur demikian: "duh, semoga masih ada kesempatan".
 
Sederhana sekali ucapan itu bagi perempuan biasa-biasa saja. Namun baginya hal itu buka sebatas tanda terimaksih telah naik bus itu. Jelasnya, ungkapan manis itu tak lahir dari busa dosennya dalam kelas, atau uzhtad di masjid.
***
Pagi tandang lagi di waktu yang sama, ketika bunyi koak ayam masih mengukir kemana langkah kakinya menemu berkah yang sebentar lagi akan melaju. Perempuan cantik itu masih menepi di sudut asing dalam mimpinya. Namun dari wajahnya yang perlahan kusut beserta kerut dahi yang terkulum keras, bisa diraba mimpinya tak seelok harapannya. Mungkin saja ia lagi berkejaran dengan harimau atau ia lagi berkutat dengan hidupnya. Bisa jadi ia, bisa jadi juga tidak. Tapi yang jelas, perempuan itu tak kehilangan kecantikannya untuk sekedar mengabari pada setiap tatap, bahwa dirinya benar-benar mengagumkan.
 
Sementara ia terus saja bergulat bersama mimpinya, bus tua yang seolah berharap dinanti berkali-kali mendentingkan klakson yang mulanya terdengar seperti suara kakek-kakek batuk. Bus itu tak ada tanda akan beranjak, ia menunggu perempuan cantik itu sampai dipunggungnya. Entah busnya yang menanti atau pengendara bus itu yang menunggu. Segalanya menjadi semu, tidak akan ada yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang selalu terlontar dari bibir perempuan manis itu.
 
"Jalan pak" suara orang tua kurus dengan tatapan kejengkelan purba meminta bus berlalu meninggalkan keresahan.
"Iya sebentar lagi" nada sabar dan tenang kadang bermakna lain bagi mereka yang lagi dirundung harapan. Tapi nyata hanya ada dalam angan.
"Sinis sekali kau. Sebagai penumpang setia, aku merasa tersinggung. Oh iya, mana ada orang semuda dikau mengerti tapak jalan bus tua ini. Sungguh keterlaluan, bisa-bisanya kau kendaraai bus bersejarah ini. Sedang engkau sendiri tidak paham muasalnya" kakek tua reot itu bicara seolah ia mengerti segalanya, seperti paham sebentar lagi nafasnya akan tiba.
***
Sementara pagi tak hendak berlama menunggu waktu meninggalkan perjalanan harinya, memaksa bus tua itu merangkak dengan kekosongan bekas harapan yang menyisa baying-bayang. Ya, sofa yang biasa memangku perempuan itu kini menggigil dicabik dingin waktu. Ia musti melepas harap sebelum segalanya hanya sebatas bayangan saja.
 
Cerpen: “Perempuan itu adalah Garis Sepi”Lain tempat, beda pula waktu bertutur jejak perjalanan. perempuan yang sejak tadi menari bersama mimpi, perlahan beranjak dari balik selimut dan mengambil handuk yang bertengger rapi di balik daun pintu. Lalu ia pun tertimbun dibalik pintu kamar mandi yang gagal kuintip meski sedikit.
 
Aku hanya terus menerawang dari balik kesunyian. Berharap lukisan keabadian lebih nikmat aku tulis tentang tubuhnya. Karena aku tau: perempuan itu adalah garis sepi yang ditunjuk waktu mengajariku arti penyesalan. Tentang kepulangan yang selalu gagal ia lakukan.



Alfiya Alfan Korp Ampera 2012

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Cerpen: “Perempuan itu adalah Garis Sepi”"

Post a Comment

Terima kasih telah mengunjugi blog saya, silakan tinggalkan komentar.