Surat Kepada Birokrasi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Yogyakarta

Surat Kepada Birokrasi Fakultas Dakwah dan Komunikasi
Tanpa mengurangi rasa hormat, saya tulis surat ini kepada kalian bapak birokrasi yang baik hati. Semoga dengan surat ini sedikit banyak kalian berfikir bagaimana menjadi pendidik atau pengatur sistem yang baik. Saya akui, selama ini memang kalian telah berusaha memberikan yang paling baik. Namun, dimana kebaikan itu kalian sematkan? Atau jangan-jangan saya sendiri yang terlalu bodoh untuk mencerna setiap kebijakan yang selalu kalian paparkan? Entahlah, saya tak dapat membedakan diri secara pasti dan benar. Kerena kepastian serta kebenaran hanya milik-Nya.

Saya mengerti bagaimana sistem harus tetap ditegakkan, bagaimana pun keadaannya, tak memilih siapa pun orangnya, dan apa pun jabatannya. Pelajaran perundang-undangan telah sedikit membuka pemikiran saya, bahwa undang-undang di ciptakan untuk mengakomodir seluruh elemen masyarakat (baca: civitas akademika).
Bukan mengekang, apalagi menindas. 

Adakalanya ketidak berdayaan tidak pernah bisa di pisahkan dari kehidupan manusia seperti saya ini. jujur bapak birokrasi yang terhormat, sudah berkali-kali saya dibuat sakit hati. Kemarin, ketika ujian akhir semester hendak dimulai, saya datang keruang Kajur untuk meminta surat rekomendasi lantaran Kartu Rencana Study (KRS) sebagai syarat ikut ujian hilang. Namun apa yang saya dapatkan, saya mendapat informasi bahwa untuk semester ini sudah tidak berlaku hal seperti itu. Aneh, perubahan aturan yang tiba-tiba seperti itu sering saya temukan.

Lalu pertanyaannya, jika peraturan selalu saja berubah, kepan mahasiswa punya kesempatan menilai dan memberikan masukan demi terjaminnya proses hukum di kampus? Sudah banyak kali saya dengar di kuliah-kuliah umum, baik jurusan maupun fakultas, di sana sering saya dengar harapan-harapan kalian kepada mehasiswa untuk mempertajam kualitas keilmuan, sesuai ajaran islam dan tetek-bengek lainnya.

Namun kenyataannya bagaimana? Tidak bisakah sejenak kalian para birokrasi fakultas yang terhormat, untuk mengecek sekaligus menilai proses transformasi keilmuan di kelas? Saya kira, kalian ada untuk melakukan hal semacam itu. Bukan hanya duduk manis di ruangan ber-AC, dan secangkir teh hangat tiap pagi.

Saya terima segala bentuk keputusan sistem yang sengaja atau tidak kalian bangun dengan keringat dan pikir yang saya kira juga lelah. Namun yang perlu di ”ingat”, tidak semua mahasiswa punya mental seperti bayi, yang perlu dituntun dan diperlakukan seenaknya. Terkadang saya berpikir, kok fakukltas rasanya tak ada bedanya dengan tempat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).

Sudah tak terhitung berapa banyaknya perlakuan diskriminasi bergulir dari kebijakan yang kalian berlakukan. Ruang kelas yang tak ada bedanya lagi dengan berangkas, tempat mahasiswa dicekoki tanpa bisa mengelak sedikit pun. Lalu pertanyaannya, dari arah mana saya bisa memahami materi dan ajaran kemanusiaan yang kalian berikan. Sementara berpendapat dianggap pembangkang? Jadi terkenang orde baru.

Saya tidak mengerti, katanya hari ini zaman kebebasan. Manusia bisa melakukan apa pun sekehendaknya sendiri. Tapi kenapa, di sini saya mendapat perlakuan demikian rupa? Saya di kampus hendak belajar, bukan dihajar dengan sistem yang lebih layak dipraktekkan kepada binatang.

Jika demikian, jagan pernah salahkan bila kelak jebolan perguruan tinggi lebih bodoh dari mereka yang belajar sendiri. Karena toh pelajaran dikampus tek lebih dari sekedar memenuhi Indeks Prestasi komulatif (IPK), dan absensi yang senantiasa menjadi ancaman proses belajar mahasiswa. Barangkali hal semacam ini tidak hanya saya yang merasakan, bagaimana beratnya terus berupaya mencapai (IPK, Absensi) yang kalian tentukan.

Ironis sekali bukan? Kampus yang konon banyak menciptakan orang-orang dengan intelektualitas mempuni, kini terjebak pada ruang konyol benama absensi, dan terus bergulingan dilapangan sempit berdinding IPK.

Maka, bila hal semacam ini terus berlangsung. Rasanya saya akan menjadi mahasiswa pertama yang tergolong PMKS (penyandang masalah kesejahteraan sosial). Sebab kampus yang dalam bayangan saya adalah tempat berdialektika-mencari kebenaran segala hal, berubah menjadi pembenaran setiap keputusan.

Bapak birokrasi yang rendah sikap, tulisan saya ini tampak lucu sekali. Namun rasanya kurang pas untuk ditertawakan, apalagi dibiarkan berserakan di ruang makan njenengan. Semoga kalian tak menganggap sepele surat sederhana yang penuh keruwetan ini. Terlepas bagaiaman kekurangan saya selaku orang yang mau belajar.

Akhirnya, saya selesaikan surat ini dengan ucapan terimakasih. Karena adanya kalian membuat saya sedikit berpikir bahwa kebenaran-kesempurnaan memang sulit diperjuangkan. Namun tak ada kata “tidak bisa” selagi ada upaya menyelesaikannya. Begitulah televisi mengajari sikap hidup kepada saya.

Alfiya Alfan
Asal Sumenep, Madura. Ilmu Kesejahteraan Sosial. Fakultas Dakwah dan Komunikasi


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Surat Kepada Birokrasi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Yogyakarta"

Post a Comment

Terima kasih telah mengunjugi blog saya, silakan tinggalkan komentar.