Revolusi Pendidikan Upaya Menjawab Harapan Bangsa

Revolusi Pendidikan Indonesia


Perkataan Imperialisme pada awalnya dipakai di Inggris sekitar abad ke-19. Perkataan tersebut digunakan untuk mengeratkan hubungan Inggris dengan daerah-daerah koloninya. Lambat laun, perkataan tersebut mengalami perluasan makna dan fungsinya menjadi usaha untuk memperluas tanah jajahan.

Edward Said menyatakan  “imperialisme” berarti praktik, teori, dan sikap dari suatu pusat metropolitan yang menguasa wilayah yang jauh. Kolonialisme yang hampir selalu merupakan konsekuensi imperialisme adalah dibangunnya pemukiman-pemukiman dan wilayah-wilayah yang jauh.

Doyle berpendapat bahwa imperialisme adalah proses atau kebijaksanaan untuk menegakan atau mempertahankan imperium. Imperium adalah hubungan formal maupun informal, bahwa suatu negara menguasai kedaulatan politik efektif dari suatu masyarakat politik lainnya atau Negara lainnya. Hal ini bisa dicapai dengan paksa melalui kolaborasi politik, melalui ketergantungan ekonomi dan sosial, atau budaya hingga pendidikan.

Soekarno dalam Indonesia Menggugat pun menyatakan bahwa Imperialisme bukan saja sistem atau nafsu menaklukkan negeri atau bangsa lain, tapi imperialisme bisa juga hanya nafsu atau sistem mempengaruhi ekonomi negeri dan bangsa lain. Ia tak usah dijalankan dengan pedang atau bedil atau meriam atau kapal perang, tak usah berupa perluasan daerah negeri dengan kekerasan senjata, tetapi juga berjalan dengan “putar-lidah” atau cara “halus-halusan” saja, bisa juga berjalan dengan cara “pénétration pacifique“. Imperialisme Modern merujuk pada sistem pemerintahan serta hubungan ekonomi dan politik negara-negara kaya dan berkuasa, mengawal dan menguasai negara-negara lain yang dianggap terbelakang dan miskin dengan tujuan mengeksploitasi sumber-sumber yang ada di negara tersebut untuk menambah kekayaan dan kekuasaan negara yang kuat. Imperialisme dalam menguasai kedaulatan politik efektif, berbagai lembaga politik yang ada di Indonesia, bukannya menjadi penyangga tegaknya kedaulatan politik, justru menjadi pintu masuk intervensi asing.

Sehingga akibatnya, produk politik, seperti peraturan perundang-undangan, yang seharusnya dibuat untuk melembagakan kedaulatan politik justru berubah menjadi sarana legalisasi, pengesahan, penghalalan Neo-Kolonialisme alias “penjajahan gaya baru”. Contohnya UU Nomor 1 dan 12 Tahun 1967, perekonomian Indonesia secara berangsur-angsur berbalik arah menuju pelembagaan neo-kolonialisme dengan membuka luas guna penanaman Modal asing dan yang paling baru adalah Perpres No 77 tahun 2009.


Revolusi Pendidikan

Kita mulai dari filsafat. Sebab pendidikan merupakan terapan dari filsafat, maka filsafat pendidikan memiliki berbagai aliran atau mazhab, di antaranya :

1. Filsafat pendidikan idealisme

Idealisme berpendapat bahwa hakikat kenyataan dunia adalah ide yang sifatnya rohani atau intelegensi. Termasuk dalam paham idealisme adalah spiritualisme, rasionalisme, dan supernaturalisme.

Tentang teori pengetahuan, idealisme mengemukakan bahwa pengetahuan yang diperoleh melalui indera tidak pasti dan tidak lengkap karena dunia hanyalah merupakan tiruan belaka, sifatnya maya yang menyimpang dari kenyataan sebenarnya.

Selain itu, menurut pandangan idealisme, nilai adalah absolut. Apa yang dikatakan baik, benar, salah, cantik atau jelek secara fundamental tidak berubah, melainkan tetap dan tidak diciptakan manusia.

Idealisme memiliki tujuan pendidikan yang pasti dan abadi, di mana tujuan itu berada di luar kehidupan manusia, yaitu manusia yang mampu mencapai dunia cita, manusia yang mampu mencapai dan menikmati kehidupan abadi yang berasal dari Tuhan.

2. Filsafat pendidikan realisme

Aliran ini berpendapat bahwa dunia rohani dan dunia materi merupakan hakikat yang asli dan abadi. Kneller membagi realisme menjadi dua.

realisme rasional, memandang bahwa dunia materi adalah nyata dan berada di luar pikiran yang mengamatinya, terdiri dari realisme klasik dan realisme religius Realisme natural ilmiah, memandang bahwa dunia yang kita amati bukan hasil kreasi akal manusia, melainkan dunia sebagaimana adanya, dan substansialitas,sebab akibat, serta aturan-aturan alam merupakan suatu penampakan dari dunia itu sendiri.

Selain realisme rasional dan realisme natural ilmiah, ada pula pandangan lain mengenai realisme, yaitu neo-realisme dan realisme kritis.

Neo-realisme adalah pandangan dari Frederick Breed mengenai filsafat pendidikan yang hendaknya harmoni dengan prinsip-prinsip demokrasi, yaitu menghormati hak-hak individu.

Sedangkan realisme kritis didasarkan atas pemikiran Immanuel Kant yang mensintesiskan pandangan berbeda antara empirisme dan rasionalisme, skeptimisme dan absolutisme, serta eudaemonisme dengan prutanisme untuk filsafat yang kuat.

3. Filsafat pendidikan materialisme

Materialisme berpandangan bahwa realisme adalah materi, bukan rohani, spiritual, atau supernatural. Cabang materialisme yang banyak dijadikan landasan berpikir adalah positivismeyang menganggap jika sesuatu itu memang ada, maka adanya itu adalah jumlah yang dapat diamati dan diukur. Oleh karena itu, positivisme hanyamempelajari yang berdasarkan fakta atau data yang nyata.

4. Filsafat pendidikan pragmatisme

Pragmatisme merupakan aliran paham dalam filsafat yang tidak bersikap mutlak, tidak doktriner, tetapi relatif atau tergantung pada kemampuan manusia.

Dalam pragmatisme, makna segala sesuatu dilihat dari hubungannya dengan apa yang dapat dilakukan, atau benar tidaknya suatu ucapan, dalil, dan teori, semata-mata bergantung pada manusia dalam bertindak.

Menurut pragmatisme, pendidikan bukan merupakan proses pembentukan dari luar dan juga bukan pemerkahan kekuatan laten dengan sendirinya, melainkan proses reorganisasi dan rekonstruksi dari pengalaman individu.

Imperialisme Pendidikan

Walaupun penaklukan atau penjajahan secara fisik telah berakhir. Penjajahan terhadap pikiran, jiwa, dan budaya masih terus berlangsung. Penjajahan pikiran (colonizing mind) merupakan senjata utama kalangan bangsa Barat untuk membuat bangsa lain terutama Dunia Ketiga tetap tunduk pada kekuasaannya, yang menjelma dalam bentuk lain.

Salah satu Imperialisme Modern adalah penanaman pengaruh dalam bidang Pendidikan.

Imperialisme Modern dalam bidang yakni menanamkan pengaruh pikiran dan jiwa dalam proses penyelenggaraan Pendidikan. Disini kita akan membahas Fokus dari Pendidikan kita dengan tinjauan Filosofi yang digunakannya.

Pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, warna Filosofi Pragmatisme masih kental sekalipun di dalam undang-undang itu tidak begitu vulgar dinyatakan. Namun, dalam praktek sehari-hari, pikiran John Deweylah yang dominan.

Pragmatisme pada dasarnya merupakan gerakan filsafat Amerika yang begitu dominan selama satu abad terakhir dan mencerminkan sifat-sifat kehidupan Amerika.

Demikian dekatnya Pragmatisme dangan Amerika sehingga Popkin dan Stroll menyatakan bahwa pragmatisme merupakan gerakan yang berasal dari Amerika yang memiliki pengaruh mendalam dalam kehidupan intelektual di Amerika. Ide Pragmatisme ini merupakan budaya dan tradisi berpikir Amerika.

Paham pragmatisme menjadi sangat berpengaruh dalam pola pikir bangsa Amerika Serikat. Salah satu tokoh sentral yang sangat berjasa dalam pengembangan Pragmatisme pendidikan adalah John Dewey.

Filsafat Pendidikan Dewey dikenal dengan sistem pendidikan progresif yang bercorak pragmatis-instrumentalis. Menurut filsafat ini, benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau teori semata-mata bergantung pada manusia dalam bertindak. Suatu tindakan dapat dilaksanakan entah sadar atau tidak termotivasi oleh adanya tujuan. Dengan demikian pragmatik artinya tindakan bertujuan.

Segalanya tergantung pada apakah “kebenaran” itu berguna atau tidak. Arti umum dari pragmatisme ialah kegunaan,kepraktisan, getting things done. Pandangan Dewey tersebut membuat kemajuan yang linear pada masyarakat Barat.

Teori kebenaran yang diungkapkan oleh seorang tokoh pragmatisme, William James mengatakan bahwa suatu ide itu benar jika ia berhasil dan memberi akibat-akibat yang memuaskan. Kebenaran suatu teori, ide atau keyakinan bukan didasarkan pada pembuktian abstrak, melainkan didasarkan pada pengalaman, pada konsekuensi praktisnya, dan pada kegunaan serta kepuasan yang dibawanya.

Asas kegunaan atas hasil dari sebuah tindakan oleh masyarakat pragmatis telah biasa digunakan sebagai sebuah dalil pembenaran atas terjadinya eksploitasi alam. Pembangunan pabrik dengan dampak polusi yang tinggi diperbolehkan dengan dali huntuk membuka lapangan kerja yang luas sekaligus guna mengurangi tingkat pengangguran di sebuah wilayah.

Demikian dalil asas manfaat tersebut terus bergulir hingga sekarang. Dominasi masyarakat industri maju terhadap negara berkembang menggunakan alasan-alasan pragmatis pun akhirnya tidak dapat dihindari lagi. Orde baru mempunyai peranan yang signifikan dalam mengembangkan Pendidikan yang berlandaskan Filsafat Pragmatisme.

Sebenarnya, hanya terdapat satu sebab utama yang melatarbelakangi hal itu. Semuanya bermula dari tujuan Pembangunan yang menjadi ambisi orde baru, yaitu keberhasilan sektor ekonomi.

Dunia ekonomi dianggap sebagai faktor yang urgen dan menempati posisi poros dalam memajukan negara. Wajar jika terdapat Hegemoni Pemikiran dari Amerika Serikat karena berdirinya rezim Orde Baru (Orba) yang mengganti Orde Lama (Orla) tidak lepas dari peran Amerika Serikat (AS). AS memang sangat berkepentingan terhadap Indonesia.

Hal ini terutama kepentingan ekonomi. Serta Amerika Serikat menjadi Penguasa Tunggal setelah kejatuhan Komunisme Uni Soviet. Sehingga pemikiran ideologis Amerika lah yang paling berkembang dominan di berbagai belahan dunia.

Pragmatisme sering dikritik sebagai filsafat yang mendukung bisnis dan politik Amerika. Filsafat Pragmatisme dalam Pendidikan sejalan dengan dunia industry kapitalis, hanya keterampilan teknis instumentalis yang disebut life skill-lah yang berguna dalam era modern dan dunia industry kapitalis, lainnya tidak lebih berguna.

Dengan kata lain, hanya kompetensi yang berguna untuk membawa kesuksesan hidup, bekerja di kantoran butuh kompetensi, bekerja di pendidikan butuh kompetensi, berupa keterampilan-keterampilan teknis.

Desain modernitas dan dunia industri yang mengarahkan pendidikan untuk lebih link and match dengan dunia kerja yang kerap disempitkan sebagai dunia industri menjadikan tata aturan dan legislasi serta formula pendidikan juga diarahkan untuk mendukung modernitas, dunia industri dengan berbgai nilai-nilai, kultur, dan filosofi hidupnya tersebut.

Oleh karenanya, dengan “pandangan filosofis Pragmatisme” tersebut, salah satunya diwujudkan dalam bentuk kurikulum yang berbasis pada kompetensi, di mana kompetensi menjadi core pendidikan nasional. Pendidikan untuk mengembangkan kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja.

Dalam masalah kurikulum pendidikan misalnya diarahkan kepada kurikulum yang memberikan bekal kepada peserta didik untuk mampu mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan pendapatan yang besar. Pendidikan salah satu instrument guna mendongkrak Pertumbuhan Ekonomi.

Filsafat Pragmatisme dalam Pendidikan, berorientasi pada prestasi kerja individual, berorientasi pada efisiensi, nilai praktis, dan kegunaan, berorientasi pada keuntungan material serta percaya bahwa dengan rasionalitas dan ilmu pengetahuan orang akan dapat menguasai lingkungan (eksploitasi).

Pendidikan berlandaskan Filsafat Pragmatisme berada dalam jaring paham liberalisme yang berkembang dalam perpolitikan Eropa dan Amerika. Dengan berusaha memperjuangkan kebebasan sipil serta hak-hak pribadi dalam berbagai dimensi kehidupan.

Pendidikan progresif dalam filosofi Pragmatisme secara politis berdiri di atas paham liberalisme sosial yang menghamba pada kepemilikan privat. Perihal nilai yang dikembangkan pendidikan progresif berakar dari tradisi utilitarian John Stuart Mill dan evolusi Charles Darwin.

Unsur kehidupan dan pengalaman yang berkembang dipengaruhi pemikiran ala Darwin yakni The Survival Of The Fittest (Siapa yang kuat dialah yang menang).

Pengetahuan yang berbasis nilai guna dipengaruhi oleh utilisme Mill. Paham Pendidikan Pragmatisme yang memusatkan pada dimensi individualisme yang berbasis pada kebebasan dalam aktivitas perekonomian. Individu diberikan penghargaan penuh akan kebebasannya mengatur diri dan berbagai hal miliknya.

Aliran inilah yang kemudian memberikan landasan berpikir dari kapitalisme global dewasa ini. Paham yang mendukung liberalisme-individual yang telah melahirkan kemelaratan di muka bumi, sebagai dampak dari kapitalisme yang mengeruk kekayaan dunia untuk memenuhi ambisi kepentingan individual semata.

Manusia dianggap sebagai objek komoditas ekonomi yang dapat diperjual belikan. Hal ini kemudian melahirkan manusia-manusia yang tereksploitasi dalam pabrik-pabrik industri, membludaknya pekerja-pekerja anak, kehidupan kaum wanita yang terdiskriminasi, dan kehidupan kaum migran yang sangat memprihatinkan akibat dari perdagangan bebas dan eksploitasi ekonomi.

Pendidikan bagi mereka merupakan upaya untuk mereformasi struktur sosial sebagai konsekuensi dari konsentrasi liberal pada hal-hal yang bersifat duniawi. Pendidikan adalah sarana yang sangat penting untuk pengembangan individu.

Sekolah dalam tataran ini dijadikan sarana untuk mereformasi kondisi sosial secara ekonomi dan politik guna mendukung korporasi besar yang dibangun atas dasar ekonomi kapitalis-invidualistik. Individualisme memiliki ciri yang kental dari akar intelektualisme dan ekonomi individualistik-kapitalistik.

Dalam wilayah filsafat, paham ini diperkuat oleh prinsip cogito ergo sum Descartes. Pikiran Dewey yang memiliki kedekatan konseptual dengan teori individualisme versi Locke. Dewey memaknai individualisme dengan “lost individual” Jika ditilik lebih lanjut penegasan ini nampaknya menuju pada individualisme kapitalistik Locke.

Individu dilihat sebagai mahluk powerful dalam berbagai hal sehingga dapat melakukan apa pun dan tidak membutuhkan siapa pun selain dirinya. Manusia adalah mahluk yang independen, dapat berdiri sendiri tanpa membutuhkan alat bantu penopang selain dirinya. individualisme yang diperkuat oleh konsep liberalisme ekonomi melalui kebijakan ekonomi kapitalisme.

Ajaran Locke terhadap hak milik pribadi dapat ditelusuri dalam Second Treatise on Government, yang menunjukkan dasar bagi legitimasi perkembangan kapitalisme global dan berdiri di atas pengagungan hak milik pribadi.

Bagi Locke kebebasan diri dalam memiliki sumber-sumber ekonomi menjadi basis bagi relasi antarindividu dalam kehidupan di dunia ini. Individualisme ekonomis-teknologis yang mengatakan bahwa individu bekerja seperti mesin untuk mendapatkan keuntungan pribadi sebanyak-banyaknya.

Manusia di masa itu hidup dalam nuansa glamor dunia yang dikuasai korporasi kapitalisme, yang berkembang sejak revolusi industri, dan telah menjangkiti dunia, sehingga setiap perubahan selalu berbasis pada individu. Individu yang dikategorikan sukses adalah mereka yang berhasil sebagai wujud usaha diri mereka sendiri.

Ada beberapa konsep Locke yang diamini Dewey, yaitu: pertama, konsep kebebasan intelektual, termasuk dalam tataran ekonomi. Kedua, hak alamiah individu sejak lahir adalah kebebasan alamiah. kebebasan dan individualitas Locke yang mengandaikan akan kodrat alamiah yang dimiliki individu. Ketiga, kebebasan individu yang dibatasi oleh hukum yang menjamin hak hidup, hak properti, dan kebebasan orang lain.

Keempat, penyerahan hak kekuasaan individu kepada negara melalui kontrak sosial. Dewey mengambil beberapa hal yang kemudian dikembangkannya dalam pendidikan, yaitu Pertama, kehendak individu harus didahulukan di atas kepentingan mayoritas dalam arti sebagai kelompok sosial.

Kedua, Dewey mengamini Locke tentang perlindungan negara melalui hukum terhadap hak milik pribadi. Ketiga, kedaulatan terletak di setiap anggota masyarakat, melalui prinsip kepemilikan (kebermanfaatan pada diri individu).

Keeempat, hubungan antarindividu berada dalam prinsip kebebasan. Kelima, kontrak sosial merupakan alat menjamin hak dan kebebasan setiap individu. Individu berusaha membentuk masyarakat yang dapat menjamin hak dan propertinya sekaligus individu tersebut tetap dalam keadaan otonom dan bebas seperti sebelumnya.

Jadi Pendidikan kita yang berfilosofi Pragmatisme adalah Pendidikan yang dikembangkan berdasarkan budaya dan tradisi berpikir Amerika khususnya dan Barat pada umumnya.

Disinilah Pendidikan tidak bisa terlepas dari cengkraman Narasi Besar sistem dunia yang berlaku. Pendidikan merupakan bagian dari sistem yang lebih besar, dimana dia berfungsi untuk menciptakan pelaku-pelaku (agen) yang akhirnya ikut melanggengkan sistem kekuasaan yang ada.

Rasionalitas instrumental yang bertujuan praktis ekonomis telah sangat berpengaruh pada pembentukan karakter pendidikan modern saat ini. Efektivitas pendidikan dan spesialisasi ilmu menjadi sebuah tuntutan yang memunculkan suatu spesifikasi status dan peran. Ini pada akhirnya juga akan berpengaruh pada perkembangan maupun posisi dari ilmu pengetahuan itu sendiri.

Ilmu pengetahuan berkembang seiring dengan kemampuan manusia untuk mengolah alam. Ilmu pengetahuan yang berguna ialah yang bisa mengembangkan kemampuan manusia dalam mengolah alam untuk keuntungan yang sebanyak-banyaknya.

Dengan demikian, ilmu pengetahuan itu sendiri telah menjadi bagian dari lingkaran kepentingan kelas (golongan) penguasa untuk menjaga kesinambungan sistem yang berlaku.

Neoliberalisme University

Ditolaknya gugatan atas UU Pendidikan Tinggi oleh Mahkamah Konstitusi ini menjadi semacam ‘antiklimaks’ bagi proses penolakan wacana liberalisasi pendidikan yang telah berlangsung sejak lebih satu dasawarsa silam. Setelah sempat menuai sedikit ‘kemenangan’ dengan dibatalkannya UU Badan Hukum Pendidikan pada tahun 2010, proses liberalisasi kini menapak babak baru dengan UU Pendidikan Tinggi.

Setidaknya, ada tiga alasan mengapa UU Pendidikan Tinggi layak untuk ditolak (Umar, 2012). Pertama, penetrasi kapitalisme global, yang tercermin dari kooptasi wacana-wacana neoliberal tentang pendidikan tinggi pada pasal-pasal krusial mengenai relasi institusi pendidikan dan dunia usaha, transformasi PTN ke Badan Hukum, otonomi (non-akademik), hingga internasionalisasi.

Kedua, posisi PTN sebagai ‘Badan Hukum’ yang mengisyaratkan adanya otonomi non-akademik serta kebebasan PTN yang memiliki status ini untuk menentukan ‘tarif’ sendiri. Hal ini dipertegas oleh PP 58/2013 yang memberi dasar operasional bagi penentuan PTN Badan Hukum.

Ketiga, diskursus yang melepaskan ‘negara’ dari tanggung jawabnya untuk membiayai pendidikan. Dengan format badan hukum, disertai oleh klausul-klausul ‘kabur’ tentang peran negara, ‘negara’ tidak lagi punya tanggung jawab besar untuk memastikan biaya kuliah tidak mahal –semua sudah diatur dengan dalih ‘indeks kemahalan wilayah’.

Tiga argumen ini menyiratkan satu hal: UU Pendidikan Tinggi, pada dasarnya, adalah satu paket dengan skema liberalisasi pendidikan yang berlangsung secara global. Apa yang terjadi di Indonesia, melalui UU Pendidikan Tinggi dan perangkat ‘badan hukum pendidikan’, terjadi juga di beberapa negara ‘dunia ketiga’, seperti Uganda, Thailand, atau India (Prasad, 2005; Mamdani, 2007; Collins, 2009).

Pola-pola ‘liberalisasi’ sangat khas: menjadikan institusi pendidikan otonom, menanamkan logika kompetisi, dan mereduksi peran negara dalam pembiayaan pendidikan (Collins, 2009). Dengan demikian, otonomi yang merupakan jantung dari liberalisasi sebetulnya mengalihkan kekuasaan ‘negara’ pada kekuasaan ‘pasar’.

Hal yang menarik untuk dilihat adalah bahwa otonomi tidak membuat kampus ‘independen’ dari tarik-menarik kekuasaan politik –sebagaimana dipahami secara keliru oleh 7 rektor PT BHMN - tetapi justru memindahkan lokus kekuasaan dari satu kanal ke kanal lainnya.

Pertanyaannya, bagaimana diskursus tentang liberalisasi pendidikan ini diturunkan dalam praktik kebijakan di Indonesia? Di sini, konsep ‘governmentality’ yang dibawa oleh Foucault (1991) menjadi penting untuk digunakan. Foucault melihat bahwa ‘government’ (pemerintahan) sejatinya tidak dilihat hanya sebagai institusi politico-birokratik yang mengatur masyarakat, tetapi perlu dilihat dalam dimensinya sebagai ‘cara mengoperasikan kekuasaan.’

Berkebalikan dengan pandangan klasik yang melihat kekuasaan pada institusi-institusi politik, Foucault melihat kekuasaan menyebar dan mewujud dalam kehidupan sehari-hari melalui ‘government.’ Ia mencontohkan, misalnya, ‘ekonomi,’ sebagai salah satu bentuk governmentality melalui penciptaan kemakmuran.

Governmentality, sebagaimana modus-modus kekuasaan lain,beroperasi melalui apa yang disebut oleh Foucault sebagai ‘technologies of the self,’ atau apa yang kemudian dikenal sebagai biopolitics. Untuk memastikan ‘pemerintahan’ berjalan’ dengan baik, subyek menggunakan teknologi-teknologi yang memungkinkan kekuasaan terinternalisasi dalam aktivitas sehari-hari dan ter-normalisasi dalam kehidupan masyarakat, tanpa ia menyadari bahwa ia sedang diperintah (governed).

Liberalisasi pendidikan bisa dilihat dalam logika ini. Wacana tentang liberalisasi pendidikan menggunakan berbagai modus kekuasaan yang secara efektif, walau bertahap, mampu menanamkan wacana liberalisasi tersebut dalam praktik pemerintahan sekaligus mendisiplinkan para penentangnya.

Modus-modus liberalisasi ini terangkai dalam jalinan erat kekuasaan antara Bank Dunia, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, kampus-kampus besar, akademisi, dan aktor-aktor lain. Jejaring ini menunjukkan bahwa pola kekuasaan dalam neoliberalisme itu tersebar, dan itu meniscayakan adanya depolitisasi ‘negara’ dan re-politisasi atas institusi-institusi lain.
Modus-Modus Liberalisasi

Bagaimana wacana tentang liberalisasi ditanamkan di Indonesia? Kita bisa melihat jalinan relasi kekuasaan tersebut dalam pemaparan berikut.

Pertama, liberalisasi pendidikan ditanamkan melalui institusi teknokratik di tingkat kementerian, yang kemudian mendorongnya menjadi kebijakan publik. Bank Dunia, sebagai institusi yang sangat getol mewacanakan liberalisasi pendidikan tinggi, menggunakan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi sebagai sarana utama.

Modus yang digunakan oleh Bank Dunia adalah ‘pinjaman proyek’ (Bappenas, 2013). Dalam laporan Bappenas, per 31 Desember 2012, 43% dari keseluruhan pinjaman proyek dikelola oleh Kementerian Pendidikan Tinggi. Bank Dunia meminjamkan dana untuk melakukan ‘reformasi pendidikan tinggi’ kepada pemerintah, melalui beberapa proyek seperti Development of Undergraduate Education (DUE), Higher Education for Relevance and Efficiency (HERE), dan Managing Higher Education for Relevance and Efficiency (IMHERE).

Hal menarik dapat ditemukan pada laporan pelaksanaan proyek HERE dan DUE. Di 2 laporan tersebut, per 2012 (proyek ini berlangsung bertahap, 1995-2002 dan 2005-2012) tertera bahwa Bank Dunia memberikan dukungan terhadap pembentukan Dewan Pendidikan Tinggi (Board of Higher Education) di Direktorat Jendera Pendidikan Tinggi, yang bertugas untuk menyusun kebijakan-kebijakan teknis Pendidikan Tinggi.

Posisi Dewan Pendidikan Tinggi ini menarik. Laporan Bank Dunia menyebut bahwa lembaga ini bertugas memberikan saran-saran kepada Direktorat yang kemudian diteruskan menjadi perubahan kebijakan untuk memenuhi ‘paradigma baru’ pendidikan (World Bank, 2003: 7). Di samping itu, Dewan Pendidikan Tinggi ini juga melakukan supervise atas pelaksanaan rencana strategis jangka panjang kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia, yang pembuatannya juga disponsori oleh proyek Bank Dunia (World Bank, 2003).

Bank Dunia terlibat baik dalam pembentukan maupun capacity building dari Dewan ini. Di laporan proyek DUE, mereka mendukung lembaga ini dengan jumlah dana yang cukup besar, total $6,4 juta. Dewan Pendidikan Tinggi inilah yang kemudian terlibat dalam perumusan UU Pendidikan Tinggi, dan terlibat dalam sosialisasi di mana-mana.

Perumusan UU Pendidikan Tinggi (sebelumnya UU BHP) juga tidak lepas dari dukungan Bank Dunia. Melalui proyek HERE, Bank Dunia mendukung ‘reformasi perundang-undangan tentang pendidikan tinggi’ melalui skema pinjaman lunak mereka. Laporan pelaksanaan proyek HERE terang-terangan menyebut bahwa UU baru tentang pendidikan tinggi ini adalah buah dari kesepakatan dan harus dipenuhi oleh pemerintah.

Awalnya, pelaksanaan dari proyek ini adalah UU Badan Hukum Pendidikan. Namun, gerakan masyarakat sipil dan mahasiswa melalui Judicial Review di Mahkamah Konstitusi menghambat pelaksanaan ini. Tak lama kemudian, tahun 2012, muncul UU baru yang membawa liberalisasi ini berjalan secara lebih soft. Hal menarik lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa proyek ini berakhir tahun 2012, sehingga menyebabkan pemerintah harus cepat-cepat mengesahkan UU ini sebagai bentuk kepatuhan terhadap Bank Dunia (World Bank, 2013).

Dua laporan proyek ini mencerminkan dua hal: (1) proyek liberalisasi pendidikan sejatinya tidak dilakukan melalui jalur ‘politis’ semata (via DPR dan Kementerian) tetapi juga melalui jalur teknokratis; (2) hal ini menyiratkan satu fakta penting: teknokrasi tidak bebas nilai dan kepentingan. Teknokrasi menjadi pilar penting bagi lembaga-lembaga keuangan seperti Bank Dunia untuk menanamkan diskursus dalam kebijakan publik di Indonesia.

Kedua, wacana liberalisasi pendidikan di Indonesia ditanamkan melalui jejaring pengelola universitas dan akademisi (intelektual). Hal ini dapat kita lacak pada proses persidangan uji materiil UU Pendidikan Tinggi di Mahkamah Konstitusi. Beberapa saat setelah persidangan FPP dan BEM Unand selesai dan Komite Nasional Pendidikan siap mengajukan gugatan, muncul pernyataan sikap yang langsung ditandatangani oleh tujuh rektor Perguruan Tinggi.

Isi Pernyataan sikap 7 PTN itu adalah sebagai berikut:

1. Otonomi perguruan tinggi yang meliputi otonomi akademik dan otonomi nonakademik bersifat KODRATI bagi perguruan tinggi.

2. Otonomi akademik merupakan prasyarat untuk melaksanakan tridharma perguruan tinggi

3. Otonomi nonakademik merupakan prasyarat untuk mewujudkan pengelolaan perguruan tinggi yang baik.  Ketiadaan otonomi non akademik akan meniadakan otonomi akademik.

4. UU Nomor 12 Tahun 2012 menjamin otonomi perguruan tinggi juga mengatur dengan tegas tanggung jawab negara atas penyelenggaraan dan pendanaan pendidikan tinggi

5. Untuk menjamin otonomi nonakademik dalam rangka meningkatkan mutu diperlukan kewenangan: pengambilan keputusan secara mandiri, penerapan merit system dalam pengelolaan sumberdaya manusia, pengelolaan aset, dan pengelolaan keuangan.

6. Kewenangan tersebut di atas dalam sistem penyelenggaraan dan keuangan Negara hanya dapat dilakukan oleh PTN badan hukum.

7. Dalam PTN badan hukum, masyarakat sebagai pemangku kepentingan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam pengambilan keputusan pengelolaan perguruan tinggi.
(dikutip dari web ITB, 2013)

Hal ini cukup menarik untuk dikritisi. Mengapa gugatan atas UU ini justru direspons secara reaksioner justru oleh 7 rektor PT BHMN? Mengapa perguruan tinggi ini sangat ‘bernafsu’ untuk mempertahankan privilege yang mereka dapatkan melalui ‘otonomi pendidikan?’ Dari mana semua argumen ini berasal?

Kita bisa melacak hal tersebut dari kata pertama: ‘otonomi adalah sesuatu yang bersifat kodrati’ bagi perguruan tinggi. Otonomi yang dimaksud cukup jelas: kewenangan mengelola perguruan tinggi tanpa pelibatan negara. Statement ini menyiratkan satu hal penting: diskursus ‘otonomi’ yang dibawa oleh Bank Dunia secara jelas ternormalisasi dalam benak dan pikiran elit-elit universitas.

Seperti jamak diketahui, 7 Perguruan Tinggi yang menandatangani dukungan terhadap UU Pendidikan Tinggi sangat menikmati otonomi yang mereka dapatkan pasca-pemberlakuan status BHMN. Konsekuensi BHMN ada dua: (1) negara mencabut subsidi terhadap perguruan tinggi; (2) kampus diberi kewenangan mencari dana sendiri. Hal ini membantu proses normalisasi yang membuat logika ‘otonomi neoliberal’ bertahan dan terbingkai di univetrsitas.

Diskursus neoliberal yang menjauhkan kampus dari negara juga tertanam di benak para intelektual kampus. Proses persidangan uji materiil UU Pendidikan Tinggi memperlihatkan hal ini. Dalam proses persidangan, masing-masing kampus menampilkan para intelektual kampus yang, entah sukarela atau dibayar, memberikan kesaksian untuk membela logika otonomi neoliberal di UU Pendidikan Tinggi.

Sebagai contoh, ada salah satu intelektual di kampus terkemuka yang memberikan kesaksian –bahwa biaya kuliah yang murah hanya akan menguntungkan kaum menengah ke atas. Mungkin beliau lupa bahwa Deklarasi Universal HAM telah menyatakan bahwa ‘pendidikan tinggi harus bisa diakses semua orang atas dasar kemampuan.’

Kita tidak perlu mempersoalkan lebih jauh apa yang ia sampaikan. Yang jadi persoalan, mengapa para intelektual tersebut bersaksi dengan membela logika otonomi? Ada satu hal yang bisa di-address: baik secara tidak sadar maupun, para intelektual tersebut telah menggunakan pengetahuannya untuk melegitimasi wacana neoliberal dalam UU Pendidikan Tinggi.

Kesaksian intelektual di atas, juga kesaksian lain yang disampaikan oleh dosen-dosen dari kampus terkemuka, dengan jelas memperlihatkan bahwa sebagaimana ‘teknokrat,’ intelektual tidak bebas nilai dan kepentingan. Pengetahuan, sebagaimana kata Foucault (1978), selalu punya relasi kekuasaan tertentu, yang beroperasi melalui kesaksian di persidangan, tulisan di koran, dll.

Di sini, kita bisa melihat bahwa diskursus neoliberal tentang pendidikan tinggi juga ditanamkan melalui para intelektual, yang menggunakan pengetahuan, kemampuan retorika, dan ‘nama besar’ yang mereka miliki untuk melegitimasi wacana tersebut. Dengan kesaksian para intelektual ini, pertarungan tidak hanya terjadi pada level kekuasaan formal, tetapi juga pengetahuan.

Ke Mana Muaranya?

Namun, hal terpenting yang perlu dibaca dari modus-modus liberalisasi sebagaimana dipaparkan di atas adalah: ke mana muara dari proses liberalisasi tersebut? Dan bagaimana kita bisa membaca arah liberalisasi tersebut setelah tahun 2014 ini?

UU Pendidikan Tinggi dan peraturan-peraturan di bawahnya, merepresentasikan dengan baik logika kapitalisme neoliberal yang beroperasi di wilayah pendidikan tinggi. Namun, relasi-relasi diskursif tersebut akan bermuara pada realitas yang nyata. UU Pendidikan Tinggi merupakan salah satu penopang dari apa yang saat ini dominan di dunia: kapitalisme global.

Gambaran tentang ‘muara’ dari proses liberalisasi pendidikan ini dengan baik digambarkan oleh Satryo Brodjonegoro, salah seorang proponen liberalisasi yang juga ‘orang kepercayaan’ Bank Dunia di dunia pendidikan tinggi Indonesia. Ia menulis sebuah kertas kerja yang berjudul “Higher Education Reform in Indonesia” (2012) yang menggambarkan cara kerja liberalisasi pendidikan dan outcome apa yang mereka inginkan.

Ia memulai tulisannya dengan melihat bahwa saat ini, pendidikan tinggi Indonesia dilanda ‘krisis.’ Ada semacam ‘kegagapan’ dari pendidikan tinggi dalam merespons perkembangan produksi yang semakin kompetitif, global, dan knowledge-based tapi pendidikan tinggi sama sekali tidak disiapkan untuk menghadapi pasar yang berkembang itu.

Atas dasar itulah muncul gagasan tentang ‘reformasi pendidikan tinggi’ yang mulai muncul di Indonesia sejak 1999. Menurutnya, gagasan ‘reformasi pendidikan tinggi’ lahir dari kebutuhan untuk merespons adanya kebutuhan industri (pada spektrum yang lebih luas: pasar) untuk melakukan ‘konvergensi’ dengan pengetahuan.

Oleh sebab itu, menurutnya, ‘pendidikan tinggi’ sebagai salah satu proses dalam produksi pengetahuan yang beroperasi pada skala global. Universitas menjadi semacam ‘holding institution’ yang bekerja dalam produksi pengetahuan. Universitas setidaknya punya dua peran penting: (1) untuk mencetak ‘tenaga kerja’ yang siap dikaryakan dalam industry; (2), menghasilkan riset yang berguna untuk memecahkan masalah industri.

Dengan demikian, diperlukan semacam Quality Control untuk memastikan universitas bisa mencetak produk yang baik (‘produk’ di sini adalah mahasiswa). Oleh sebab itu, demi Quality Control, perlu ada reposisi mengenai peran negara dalam pengelolaan dan pembiayaan pendidikan tinggi.

Negara, kemudian hanya bertugas untuk menjaga agar produksi pengetahuan berjalan lancar dan punya kualitas melalui regulasi-regulasi yang melatarbelakanginya. Kita bisa lihat posisi negara dalam tulisan Satryo ini: sebagai ‘penjaga malam.’

Pemaparan Satryo Brodjonegoro tersebut memberikan kita sebuah kesimpulan bahwa agenda ‘reformasi pendidikan tinggi’ ditanamkan di atas diskursus tentang ‘kedaulatan pasar.’ Reformasi pendidikan tinggi menjadikan ‘pengetahuan’ sebagai komoditas; Pengetahuan adalah sesuatu yang bisa diakumulasikan dan mendapatkan keuntungan bagi pemilik modal.

Pemaparan selanjutnya dari Satryo Brodjonegoro semakin menarik. Dengan bantuan Bank Dunia, reformasi pendidikan tinggi dimulai pada tahun 1996 melalui proyek DUE yang melakukan reformasi kelembagaan di pendidikan tinggi. Agar pendidikan tinggi compatible dengan tren perkembangan pasar global, universitas harus dilepaskan dari pembiayaan negara dan bisa mencari dana sendiri melalui partnership.

Tulisan di atas memberikan gambaran bagaimana liberalisasi pendidikan akan berakhir. Liberalisasi pendidikan, secara telanjang, memiliki fungsi untuk menjadikan pengetahuan sebagai komoditas dalam pasar global. Dengan semakin berkembangnya kapitalisme finansial dan post-fordisme, pengetahuan menjadi instrument penting dalam kapitalisme global.

Dalam kapitalisme global saat ini, pengetahuan adalah sesuatu yang tidak hanya diproduksi melalui pendidikan dan riset di kampus, tetapi juga dipertukarkan untuk uang. Pengetahuan menjadi komoditas penting. Karena pengetahuan dipertukarkan, maka pendidikan tinggi sebagai institusi yang memproduksi pengetahuan juga ‘dipaksa’ untuk mengikuti logika tersebut.

Inilah yang kemudian kita sebut sebagai ‘komodifikasi pengetahuan, yang menemukan momentumnya dalam proses liberalisasi pendidikan. Dengan membuat iklim semakin kompetitif dalam skema liberalisasi, kita melihat fenomena riset-riset yang orientasinya adalah memenuhi kebutuhan kapitalis (Callinicos, 2006). Konsekuensinya, industri harus punya akses dan relasi yang baik dengan kampus.

Tapi tidak hanya itu. Kampus tidak hanya memproduksi pengetahuan, tetapi juga tenaga kerja yang siap pakai untuk keperluan industri. Saat ini, muncul apa yang sering disebut sebagai ‘kelas menengah,’ yang sebetulnya adalah para ‘borjuis upahan’ –mereka yang mengambil bagian sebagai ‘manajer’ dalam modus produksi kapitalisme. Posisi perguruan tinggi  menjadi penting untuk menghasilkan kelas menengah semacam ini.
Namun, tentu saja, ada sesuatu yang perlu diperhatikan. Modus produksi kapitalisme tidak melulu bertumpu pada pengetahuan atau kelas menengah yang bekerja kantoran untuk menopang kapitalisme. Proses produksi pasti menghasilkan sesuatu yang real –pakaian, kaus kaki, sepatu, makanan, minuman, dll— yang tidak bisa dibuat hanya dengan pengetahuan.

Siapakah yang membuat? Tentu saja: para buruh pabrik atau buruh tani di pedesaan. Kapitalisme selalu memerlukan tenaga mereka. Dengan demikian, kapitalisme meniscayakan ‘kasta’ yang dikemas secara modern. Itulah sebabnya, kita bisa memahami bahwa proses liberalisasi memerlukan adanya ‘seleksi’ –mereka yang tak sanggup bersaing akan menempati posisi terbawah dalam moda produksi kapitalis saat ini.

Dengan demikian, ada dua hal penting yang menjadi ‘muara’ dari proses liberalisasi pendidikan selama ini, yaitu: (1) komodifikasi pengetahuan, yakni menjadikan ‘pengetahuan’ sebagai komoditas dalam pasar global, dan (2) menjadikan universitas sebagai ‘mesin produksi’ tenaga kerja terdidik yang akan menjadi penopang penting dalam kapitalisme global sekaligus mengeksklusi mereka yang tidak punya modal dan pengetahuan.

Konsepsi Freire dan Ki Hadjar Dewantara

Pendidikan merupakan suatu proses di dalam menemukan transformasi baik dalam diri, maupun komunitas. Oleh sebab itu, proses pendidikan yang benar adalah membebaskan seseorang dari berbagai kungkungan, intimidasi, dan ekploitasi.

Disinilah letak afinitas dari paidagogik, yaitu membebaskan manusia secara comprehensive dari ikatan-ikatan yang terdapat diluar dirinya atau dikatakan sebagai sesuatu yang mengikat kebebasan seseorang.

Oleh karena itu, pendidikan merupakan elemen yang sangat signifikan dalam menjalani kehidupan. Karena dari sepanjang perjalanan manusia pendidikan merupakan barometer untuk mencapai maturasi nilai-nilai kehidupan.

Ketika melihat dari salah satu aspek tujuan pendidikan nasional sebagai mana yang tercantum dalam UU RI SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003, tentang membentuk manusia yang berbudi pekerti luhur melalui proses pembentukan kepribadian, kemandirian dan norma-norma tentang baik dan buruk. Pendidikan diartikan sebagai suatu proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien.

Dan dalam pasal 1 UU Sistem Pendidikan Nasional juga jelas memposisikan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak serta ketrampilan yang di perlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Dengan demikian manusia dengan pendidikan yang dijalaninya akan menjadi manusia yang berkepribadian utuh.

Dalam konteks masyarakat Indonesia yang agamis misalnya , rumusan kepribadian yang utuh itu tercermin dalam UU No. 2 th 1989 yang tentang Sistem Pendidikan Nasional pada prinsipnya tujuannya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seututuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap dan mandiri serta mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan

Dari sini jelas jika dilihat dari sisi prosesnya pendidikan itu mengarah pada pengembangan segala aspek potensi manusia untuk memenuhi kebutuhan dari seluruh potensi itu sendiri.

Pengertian pendidikan secara umum ini jika dikaitkan dengan Islam, yang dilihat sebagai acuan tatanan kehidupan manusia yang bersendikan pada Al –Quran dan As-Sunah, akan memberikan makna lain.

Yang dimaksudkan adalah, dengan aspek – apek potensi manusia yang mempunyai sifat universal itu, pendidikan dalam Islam diarahkan pada pengembangan misi kekhalifahan dan pelaksanaan fungsi pengabdian (ibadah).

Dengan kata lain pendidikan Islam mempunyai karakteristik yang tipikal islami dalam arti bahwa proses pendidikan dan produk pendidikan harus di acukan pada misi dan fungsi manusia itu.

Seperti juga pendapat Prof. Dr. Djamaludin Darwis tentang karakteristik pendidikan islam bahwa dengan kehalifahan itulah manusia telah dibekali dengan berbagai potensi diri atau fitrah untuk dikembangkan dalam proses pendidikan.

Hal lain yang butuh mendapat perhatian adalah sebagaimana dikemukakan secara eksplisit oleh Hasan Langgulung bahwa pendidikan adalah suatu proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, mentransfer ilmu pengetahuan dan nilai – nila islam yang di selaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal didunia dan memetik hasil ahirnya di ahirat.

Secara prinsip dan alamiah, untuk mendapatkan hasil pendidikan yang lebih baik pasti memiliki tujuan, begitupun dengan sistem pendidikan Islam itu sendiri.

Bagi pendidikan islam yang sudah berjalan sekian abad sudah pasti di butuhkan peninjauan kembali untuk mengadakan penyesuaiaan dengan tuntutan baru sejalan dengan perkembangan budaya bangsa.

Yang dimaksudkan dengan memperbaharui tujuan strategis pendidikan Islam adalah suatu tujuan menciptakan manusia beriman yang meyakini suatu kebenaran dan berusaha membuktikan kebenaran tersebut melalui akal, rasa, feeling dan kemampuan untuk melaksanakannya melalui amal yang tepat dan benar.

Mengapa harus ada revitalisasi konsepsi pendidikan islam? Mungkin pertanyaan itu yang akan muncul dan penulis berusaha menggaris bawahi pertanyaan tersebut dengan melakukan eksplorasi sederhana bahwa pada awal abad ke 21 ini kita sedang berhadapan dengan suatu kondisi yang sangat berbeda dengan era sebelumnya, dimana pada abad ini akan muncul era baru dalam tata kehidupan manusia, baik dalam aspek politik, ekonomi, sosial budaya maupun aspek kehidupan lainnya.

Spektrum tantangan di masa depan akan semakin meluas dalam kaitannya dengan fenomena globalisasi. Diantara tantangan utama pendidikan adalah konsistensi pemeliharaan dan pembentukan kepribadian muslim di tengah-tengah berbagai tantangan globalisasi.

Maka dengan tantangan di era globalisasi ini pendidikan Islam perlu membangkitkan kembali eksistensinya baik secara kualaitas maupun secara kuantitas.

Pentingnya perbaikan ini menjadi sebuah keniscayaan karena berbagai aspek yang mempengaruhi baik perkembangan tekhnologi yang semakin menggila sehingga membuat pendidikan islam menjadi barang yang tabu dan di jauhi karena lebih banyak yang tertarik pada dunia hedonisme dan pendalaman khusus ilmu yang lebih punya spesifikasi untuk dunia kerja atau perkembangan paradigma manusia memahami pendidikan itu sendiri dalam mencapai tujuan duniawi dan tidak mementingkan nilai keislaman yang menjadi pegangan penting dan sakral untuk kebahagian dunia dan ahirat kelak.

Maka karena pendidikan islam merupakan sesuatu yang memiliki urgensi yang besar maka konsepsi yang di suguhkanpun meski aplikatif dan konstruktif untuk lebih bisa mempersiapkan generasi muda yang di cita – citakan mampu terealisasi dengan baik serta memberikan banyak kontribusi positif sebagai orang yang berpendidikan ditengah – tengah masyarakat yang heterogen, bangsa dan negara, bahwa konsep pendidikan yang dibangun yang dikerjakan haruslah lebih menekankan pada akal dan menegaskan akal budi guna mempertajam kepekaan sosial. Ini artinya kepekaan sosial menjadi penting untuk lebih bisa memberikan kontribusi positif untuk orang lain, agama, bangsa dan negara.

Pendidikan selama dewasa ini sedang dalam posisi yang dilematis ketika dihadapkan dengan modernisasi dan perkembangan sains yang sungguh luar biasa hebatnya. Sampai saat ini contohnya, mayoritas ahli pendidikan berpendapat bahwa masalah utama yang dihadapi oleh bangsa kita adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan.

Berbagai hal telah diupayakan untuk memecahkan persoalan tersebut, mulai dari berbagai pelatihan untuk peningkatan kualitas guru dan tenaga kependidikan, perbaikan sarana dan prasarana serta yang paling besar adalah pembaharuan kurikulum pendidikan yang diarahkan pada terwujudnya proses pembelajaran yang berkualitas menuju terwujudnya sumber daya manusia yang berkualitas.

Namun, dari sekian banyak hal yang dikemukakan mengenai faktor-faktor yang menyebabkan keterpurukan pendidikan bangsa kita, berdasarkan analisis sederhana penulis, sedikit sekali yang menyadari bahwa kegagalan sistem pendidikan kita lebih berdasar kepada kesalahan paradigma pendidikan kita yang telah membentuk dikotomi pendidikan di mana terdapat garis pemisah antara agama dan sains.

Hal ini terlihat dari pandangan masyarakat kita saat ini sebagai produk dari sistem pendidikan yang telah dijalankan, di mana saat ini masyarakat sudah terlanjur senang- memisahkan antara pengetahuan umum dan agama.

Maka ekses yang luar biasa yang dirasakan adalah ulama yang pintar ilmu agama melihat sains menjadi hal yang paling menakutkan untuk dipelajari dan di amalkan sebagai sesuatu yang positif, begitu pula dengan pakar sains atau ilmuan yang melihat agama sebagai sesuatu yang tabu dan semakin acuh tak acuh, ini yang menjadi persoalan pelik untuk segera di pertemukan perspsinya bahwa pemisahan dan pengotakan antara agama dan sains jelas akan menimbulkan kepincangan dalam proses pendidikan, agama jika tanpa dukungan sains akan menjadi tidak mengakar pada realitas dan penalaran, sedangkan sains yang tidak dilandasi oleh asas-asas agama dan akhlaq atau etika yang baik akan berkembang menjadi liar dan menimbulkan dampak yang merusak. Karenanya konsep pendidikan dalam Islam menawarkan suatu sistem pendidikan yang holistik dan memposisikan agama dan sains sebagai suatu hal yang seharusnya saling menguatkan satu sama lain.

Dalam pandangan yang realistis ahirnya penulis meyakini dua tokoh yang akan di ambil pemikirannya adalah tokoh yang memiliki perspektif pemikiran dan latar belakang yang berbeda mulai dari latar belakang agama maupun latar belakang pemikiran dalam memahami dan mngembangkan pendidikan dan ilmu pengetahuan.

Pertama Syekh Burhanudin Al – Jarnuzi dalam kitab Ta’limul Muta’allim nya yang sudah tidak lagi asing dalam pemikiran dan gagasan strategisnya di wilayah pendidikan tradisional yang hampir di seluruh pendidikan islam atau dengan kata lain pondok pesantren menjadi makanan wajib bagi santri yang dalam pemikirannya sedikit banyak menguak sisi positif bagaimana orang bersikap terhadap ilmu pengetahuan, terhadap buku, guru, mengaplikasikan ilmu dan lain sebagainya.

Dalam ranah kontekstualisasi pendidikan zaman modern skarang ini menjadi sebuah kebutuhan yang tidak dapat kita hindarkan bahwa output pendidikan haruslah mampu sekuat tenaga untuk menciptakan nalar berfikir masyarakat yang peduli terhadap realitas masyarakat serta mampu melakukan transformasi dari hasil pendidikan itu sendiri, bukan hanya dirasakan oleh pribadi tetapi disampaikan serta di impelementasikan.

Ini senada dengan konsep pendidikan transformatif Mohammad Yamin yang berpendapat bahwa pendidikan transformatif adalah konsep pendidikan yang berupaya sekuat tenaga untuk menciptakan nalar berfikir masyarakatyang perduli terhadap realitas masyarakat.

Tantangan Gerakan Mahasiswa

Kita sudah membaca bagaimana wacana liberalisasi pendidikan ditanamkan di Indonesia dan ke mana wacana tersebut akan bermuara. Pertanyaannya, bagaimana gerakan mahasiswa bisa melawan wacana tersebut, terutama di ‘tahun politik’ yang akan menentukan nasib Indonesia lima tahun ke depan?

Tahun 2014 akan membawa Indonesia pada dua kemungkinan: tetap bertahan pada tatanan yang ada saat ini atau melakukan transformasi. Namun, satu hal menjadi catatan: tatanan kapitalisme yang ada di Indonesia tidak hanya beroperasi di wilayah kekuasaan, tetapi juga terjalin secara rumit melalui teknokrasi, pengetahuan, kebijakan sosial, dsb.

Liberalisasi pendidikan menjadi satu potret cara kerja kapitalisme yang menyebar. Dari pembacaan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa gagasan liberalisasi pendidikan tidak ditanamkan melalui satu kanal, tetapi melibatkan relasi-relasi berbagai kanal (teknokrasi, proyek, pengelolaan universitas, pengetahuan, dll) yang menuju pada satu muara yang sama (komodifikasi pengetahuan).

Untuk itu, gerakan mahasiswa perlu membingkai ulang gerakannya dalam tiga hal. Pertama, gerakan mahasiswa perlu merumuskan ulang strategi dan pembacaannya terhadap proses liberalisasi pendidikan di Indonesia.

Gerakan mahasiswa perlu memperhatikan bagaimana wacana liberalisasi pendidikan ini dirumuskan di tataran teknokratis dan akademik.

Oleh sebab itu, GM harus punya strategi pengetahuan (dan strategi lain) yang cukup canggih sehingga bisa menghadapi para teknokrat dan intelektual pengusung liberalisasi secara lebih efektif.

Kedua, gerakan mahasiswa perlu menyadarkan partai politik dan calon presiden tentang bahaya liberalisasi pendidikan, modus-modus operasinya, hingga siapa saja yang bermain di dalamnya. Dengan membangun kesadaran para politisi itu, gerakan mahasiswa akan tahu siapa yang benar-benar berpihak pada mahasiswa. Tahun 2014 bisa menjadi momentum penting.

Ketiga, gerakan mahasiswa perlu memikirkan gerakan bersama dengan elemen-elemen lain untuk menghadang isu ini. Sebab, pada dasarnya liberalisasi pendidikan tidak hanya merugikan mahasiswa, tetapi juga buruh, petani, pedagang kecil, dan siapapun yang ingin memberikan pendidikan yang baik pada anaknya.

Maka dari itu, gerakan mahasiswa tak boleh sendiri dan harus bergerak bersama-sama elemen rakyat lain dalam menghadang liberalisasi pendidikan di tengah jalan politik 2014.

Sudah saatnya gerakan mahasiswa keluar dari kegalauannya selama ini dan mengartikulasikan isu dan wacana secara mandiri.

Gerakan mahasiswa di Cile dan Kanada telah berhasil menjadikan isu ini sebagai fokus utama mereka. Kalau gerakan mahasiswa gagal di tahun ini, bisa jadi, para mahasiswa dan calon mahasiswa akan menderita 5-10 tahun mendatang.

Pustaka :
1. Diskusi Bersama, PMII Rayon Syahadat, 2014
2. Diskusi Bersama, Kemped, 2014
3. FGD LPM RHETOR, 2014
4. Moh. Yamin, menggugat Pendidikan Indonesia Belajar dari Paulo Freire dan Ki Hajar Dewantara,Arr – Ruzz Media, Jogjakarta. 2009, hlm. 172
5. Ahmad Rizky Mardhatillah. ‘RUU Pendidikan Tinggi: Bentuk Liberalisasi Pendidikan Gaya Baru, Indoprogres, 2013.
6. Freire, Paulo, Pendidikan Kaum Tertindas.

More Post : Ada Apa Dengan Sistem Pendidikan Indonesia ?

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Revolusi Pendidikan Upaya Menjawab Harapan Bangsa"

Post a Comment

Terima kasih telah mengunjugi blog saya, silakan tinggalkan komentar.