Evaluasi Pendidikan "Menyoal Pendidikan di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta"
Berbicara tentang
pendidikan memang tidak akan ada habisnya, terutama pendidikan formal.
Seseorang mendapat gelar intelektual yang karenanya selalu diyakini menjadi
prasyarat mutlak dalam mencapai sebuah kepercayaan. Sebenarnya, berkaitan
dengan kepercayaan ini; Paulo Freire (1999) dalam terjemahan bukunya ‘Menggugat
Pendidikan’ menulis bahwa “pendidikan
sejak semula beriringan dengan kepercayaan”. Kepercayaann terhadap sifat hakiki
kemanusiaan sendiri, Oleh karena itu dengan rasa kepercayaan yang tinggi
terhadap pendidikan, para orang tua bekerja keras untuk menyekolahkan
anak-anaknya dengan berbagai alasan-alasan yang sering kita dengar dalam
obrolan-obrolan didalam masyarakat. Walaupun dengan biaya pendidikan yang makin
menggunung, mereka tidak peduli yang penting anaknya bisa sekolah, lulus
kemudian dapat mengamalkan ilmunya (bekerja). Padahal ada masalah lain yang
lebih besar dalam tubuh pendidikan itu sendiri tetapi jarang terlintas
difikiran mereka. Pendidikan selalu (seharusnya) berhubungan dengan tema-tema
dan problem kemanusiaan. Artinya, pendidikan di selenggarakan dalam rangka
untuk memberikan peluang bagi pengakuan derajat kemanusiaan. Minimal, manusia
dihargai sebagai manusia.
Pendidikan
diselenggarakan dalam rangka membebaskan manusia dari berbagai persoalan hidup
yang melingkupinya. Akan tetapi, model pendidikan sekarang hanya membebani
mahasiswa dengan hafalan-hafalan rumus, teori, sekedar mengerjakan soal, tapi seringkali
tidak sanggup untuk menerjemahkan kedalam realitas sosial. Fidaus M. Yunus (2004) menyampaikan keresahannya dalam buku “Pendidikan Berbasis Realitas Sosial”,
secara gamblang dia menuturkan mengenai fenomena penyelenggaraan pendidikan
yang hanya sekedar “transfer of
knowledge“ sehingga kurang menyentuh aspek riil permasalahan masyarakat.
Dalam buku itu digambarkan realitas pendidikan di Indonesia sekaligus
menunjukan betapa pentingnya pendidikan berbasis realitas sosial sebagai
paradigma. Sebelumnya, Paulo Fraire (1976;214), mantan Menteri Pendidkan kota
Sao Paolo Brazil tahun 1988 telah menyampaikan anggapannya, bahwa pendidikan
merupakan ikhtiar untuk mengembalikan fungsi pendidikan sebagai alat untuk
membebaskan manusia dari berbagai bentuk penindasan dan ketertindasan yang
dialami oleh masyarakat, baik dari persoalan kebodohan sampai ketertinggalan.
Kita lihat, terdapat tiga Saham Pendidikan yang itu menjadi bahan dasar miniatur pendidik formal, yaitu mahasiswa sebagai agen pembelajar, sistem sebagai rule and law, dan kampus yang menjadi muara tempat mereka menimba ilmu. Sebagai sebuah bangunan, kampus membutuhkan dua bahan dasar utama, akademisi (mahasiswa dan Dosen) dan sistem.
Apabila kedalam unsur utama itu kita masukan unsur knowledge dan unsur leadership maka
ketiga unsur utama tersebut akan bersinergi dan tumbuh secara cepat. Walaupun
secara implisit sebenarnya unsur knowledge sudah masuk kedalam sistem dan
unsur leadership sudah masuk kedalam
unsur manusia yang mana antara manusia dan sistem itu bersinergi dalam suatu
wadah yang dinamakan kampus. Oleh karena itu tahapan langkah yang harus
dilakukan adalah; Pertama, Tingkatkan kualitas manusia itu sendiri terutama
mahasiswa. Manusialah yang akan mengisi suprastruktur, baik mahasiswa maupun
dosen (Birokrat) sehingga upaya
peningkatan kualitas para akademisi mutlak harus dilakukan, misalnya diklat
kepemimpinan. Tahapan pertama ini dapat menghilangkan atau meminimalisir siklus
permanen dari tahun ke tahun yang Terwariskan
oleh sebuah sistem budaya mahasiswa, yang apabila mereka melakukannya terasa
sudah biasa dan pada akhirnya menghasilkan keikutsertaan yang mengasyikan,
tanpa memfungsikan asset kecerdasan sebagai landasan berfikir dan bertindak. Apatisme, virus inilah yang senantiasa
menjadi perusak kecerdasan intelektualitas para pewaris peradaban di kampus.
Sejarah selalu menasehati kita dalam memberikan contoh tauladan seperti pada tahun 1970, gerakan mahasiswa yang waktu itu dimotori oleh sahabat Wilopo berani bergerak melawan praktek korupsi pemerintahan Orde Baru yang kemudian membentuk Gerakan Anti korupsi, belum lagi sejarah fenomenal reformasi tahun 1998 yang dikawal oleh mahasiswa, mereka bagaikan suatu arus yang mengalir deras karena segala aktivitas mereka dibendung oleh sistem otoriter yang menjadi contoh kebijakannya di kampus adalah Normalisasi Kehidupan Kampus yang kita kenal dengan nama NKK/BKK. Gerakan-gerakan yang dimotori Wilopo tahun 1970 dan Reformasi yang dimotori mahasiswa tahun 1998 merupakan tindakan yang telah menuju kematangan gerakan dari sebuah proses pemikiran untuk menyatu dengan realitas sosial.
Lalu mari kita tengok, sistem Kurikulum 2013 Dan Permindukbud No 49 Tahun 2014 mengenai sistem pendidikan di perguruan tinggi yang masih begitu amburadul terlepas dari esensi pendidikan ala mahasiswa. 144 sks yang harus diselsaikan dalam sepuluh semester (5 tahun) adalah bukti dari ketidaktepatan sistem yang dikeluarkan oleh menteri pendidikan kita, saya anggap sistem itu sebagai jalan menuju pembunuhan gerakan mahasiswa. Tanpa disadari mahasiswa akan menutup diri pada kondisi sosial karena beban tugas dan kewajiban menyelesaikan poses akademiknya yang begitu membelenggu dan fungsi mahasiswa sebagai agen sosial control secara otomatis akan luntur seiringan dengan adanya kebjakan itu.
0 Response to "Evaluasi Pendidikan "Menyoal Pendidikan di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta""
Post a Comment
Terima kasih telah mengunjugi blog saya, silakan tinggalkan komentar.