Pasar Sebagai Sarana Memahami Karakter Manusia
Mengatakan Pedagang Kaki Lima kita sering kali menyamakan dengan seseorang yang mendorong Grobak Keliling yang menjajahkan dagangganya, dalam pengertian kaki dua adalan bentukan kaki yang sebenarnya serta kaki yang tiga adalah bentukan kiasan yang berwujud dua roda serta satu kayu penyangga gerobak tersebut sehingga disebutlah pedagang kaki lima.
Sementara itu, bila kita mengaca pada sejarah Indonesia ketika masih dalam penjajahan Belanda, istilah pedagang kaki lima adalah sebutan trotoar yang ada di bahu samping kanan kiri jalan, sebutan trotoar tersebut dikenal dengan istilah 5 Feet yang diartikan sepanjang lima kaki /1,5 meteran (ukuran), nah istilah kaki lima akibat dari penerjemahan Bahasa inggris ke Bahasa Indonesia yang terbalik, ambil contoh white coffe (kopi putih), atau fres tea (teh segar).
Nah, berarti kita dapat ambil kesimpulan bahwa pada zaman penjajahanpun sudah banyak pedagang yang membuka lapak disamping kanan kiri jalan.
Dengan begitu, pedagang kaki lima dapat juga kita artikan sebagai Wadah yang bernama pasar tempat seseorang menjual/membeli barang daganggan dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup.
Jadi, didalam Pedagang kaki lima (Pasar) juga terdapat Nilai Tradisi hal tersebut karena di pasar kita dapat menemukan dinamika kehidupan sehari-hari: mulai dari pola kelakuan yang baik maupun pola kelakuan yang buruk.
Oleh karena pasar mempunyai nilai tradisional secara historis seharusnyalah kita selalu menjaga nilai-nilai tersebut agar tidak hilang dari Peradaban Manusia.
Akan tetapi, jika kita lihat realitas hari ini, dimana pasar tradisional mulai dihilangkan dari nilainya, dengan banyaknya penggusuran-penggusuran terhadap pedagang kaki lima.
Kita ambil contoh, semisal pasar panorama yang terletak di Provinsi Bengkulu (Sumatra), yang oleh pemerintah daerahnya dijadikan sebagai pasar percontohan atau lebih tepatnya pemerintah membangun kios-kios sebagai rangka menjawab Perda Nomor 03 Tahun 2008 mengenai ketentraman dan ketertiban umum.
Saat penulis melakukan wawancara dengan salah satu pedagang panorama mengenai hal pengusuran, ia menjawab “ketika kami harus pindah kedalam (kios-kios), maka yang terjadi dagangan kami tidak laku karena sepi, bahkan kami juga diharuskan untuk membayar kios, lalu gimana kami bisa mendapatkan keuntungan, jikalau setiap hari kami terus merugi. (Wawancara,17 Mei 2015).
Dari jawaban sederhana tersebut, menulis mencoba mengambil kesimpulan, pasar tradisional panorama yang sekarang ini diberlakukan jam aktivitas sampai pada pukul 08:00 pagi, lebih mendapatkan nilai yang baik (dibandingkan dengan pasar yang dibuat kios-kios), dimata masyarakat, karena dipasar tradisional tersebutlah mereka dapat berkomunikasi untuk menyatukan emosional tanpa merasa Canggung satu sama lain.
Coba kita lihat, jikalau pasar trdisional tersebut dihapuskan secara nilai, maka yang terjadi hilangnya proses dinamika kehidupan akibat dari rasa canggung baik para pembeli maupun para pedagang, karena ketika pasar tradisional dirubah bentuknya menjadi pasar modern (Ambarukmo Plaza, Mega Mall) otomatis konstruk berfikir yang ada hanyalah mereka yang mempunyai ekonomi menenggah keatas.
Dengan demikian, seharusnyalah pemerintah pusat, maupun daerah memahami betul akan psikologi para pedagang serta pembeli, jikalau pasar tradisional dirubah fugsinya secara nilai maka secara sengaja kita sudah membentuk manusia yang sebelumnya Peduli menjadi manusia yang Individual. Sekian (Arta Wijaya)
Sementara itu, bila kita mengaca pada sejarah Indonesia ketika masih dalam penjajahan Belanda, istilah pedagang kaki lima adalah sebutan trotoar yang ada di bahu samping kanan kiri jalan, sebutan trotoar tersebut dikenal dengan istilah 5 Feet yang diartikan sepanjang lima kaki /1,5 meteran (ukuran), nah istilah kaki lima akibat dari penerjemahan Bahasa inggris ke Bahasa Indonesia yang terbalik, ambil contoh white coffe (kopi putih), atau fres tea (teh segar).
Nah, berarti kita dapat ambil kesimpulan bahwa pada zaman penjajahanpun sudah banyak pedagang yang membuka lapak disamping kanan kiri jalan.
Dengan begitu, pedagang kaki lima dapat juga kita artikan sebagai Wadah yang bernama pasar tempat seseorang menjual/membeli barang daganggan dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup.
Jadi, didalam Pedagang kaki lima (Pasar) juga terdapat Nilai Tradisi hal tersebut karena di pasar kita dapat menemukan dinamika kehidupan sehari-hari: mulai dari pola kelakuan yang baik maupun pola kelakuan yang buruk.
Oleh karena pasar mempunyai nilai tradisional secara historis seharusnyalah kita selalu menjaga nilai-nilai tersebut agar tidak hilang dari Peradaban Manusia.
Akan tetapi, jika kita lihat realitas hari ini, dimana pasar tradisional mulai dihilangkan dari nilainya, dengan banyaknya penggusuran-penggusuran terhadap pedagang kaki lima.
Kita ambil contoh, semisal pasar panorama yang terletak di Provinsi Bengkulu (Sumatra), yang oleh pemerintah daerahnya dijadikan sebagai pasar percontohan atau lebih tepatnya pemerintah membangun kios-kios sebagai rangka menjawab Perda Nomor 03 Tahun 2008 mengenai ketentraman dan ketertiban umum.
Saat penulis melakukan wawancara dengan salah satu pedagang panorama mengenai hal pengusuran, ia menjawab “ketika kami harus pindah kedalam (kios-kios), maka yang terjadi dagangan kami tidak laku karena sepi, bahkan kami juga diharuskan untuk membayar kios, lalu gimana kami bisa mendapatkan keuntungan, jikalau setiap hari kami terus merugi. (Wawancara,17 Mei 2015).
Dari jawaban sederhana tersebut, menulis mencoba mengambil kesimpulan, pasar tradisional panorama yang sekarang ini diberlakukan jam aktivitas sampai pada pukul 08:00 pagi, lebih mendapatkan nilai yang baik (dibandingkan dengan pasar yang dibuat kios-kios), dimata masyarakat, karena dipasar tradisional tersebutlah mereka dapat berkomunikasi untuk menyatukan emosional tanpa merasa Canggung satu sama lain.
Coba kita lihat, jikalau pasar trdisional tersebut dihapuskan secara nilai, maka yang terjadi hilangnya proses dinamika kehidupan akibat dari rasa canggung baik para pembeli maupun para pedagang, karena ketika pasar tradisional dirubah bentuknya menjadi pasar modern (Ambarukmo Plaza, Mega Mall) otomatis konstruk berfikir yang ada hanyalah mereka yang mempunyai ekonomi menenggah keatas.
Dengan demikian, seharusnyalah pemerintah pusat, maupun daerah memahami betul akan psikologi para pedagang serta pembeli, jikalau pasar tradisional dirubah fugsinya secara nilai maka secara sengaja kita sudah membentuk manusia yang sebelumnya Peduli menjadi manusia yang Individual. Sekian (Arta Wijaya)
0 Response to "Pasar Sebagai Sarana Memahami Karakter Manusia "
Post a Comment
Terima kasih telah mengunjugi blog saya, silakan tinggalkan komentar.